Ebleg Kebumen : Tetap Survive di Zaman Now



Dari awal saya di Kebumen, ibu kost sebenarnya sudah ngajak nonton ebleg. Tapi saya yang ga mau. Baru setelah tau kalau kesenian khas Kebumen ya ebleg itu, saya agak tertarik. Itupun sebelumnya saya nanya dulu, "pemain yang lagi kerasukan, ngejar penonton apa nggak?"

Maklum, saya agak kapok. Beberapa kali nonton pertunjukan kuda lumping di Pontianak, entah mengapa wayangnya (istilah untuk pemain) amat hobi ngejar-ngejar penonton, terutama yang berbaju merah. Sebagai penggemar warna merah, saya jelas pernah berada di posisi tak menguntungkan. Makanya, kali ini saya harus yakin bahwa ebleg Kebumen tak minat main kejar-kejaran dengan penonton, baru mau nonton.

Terlanjur melewatkan satu kesempatan, saya pikir akan butuh waktu untuk datangnya kesempatan nonton ebleg lagi. Seperti wayang yang hanya bisa dilihat saat acara-acara tertentu. Ternyata nggak, di Kabupaten Kebumen nonton ebleg terbilang mudah. Hut RI, nanggap ebleg. Nikahan, nanggap ebleg. Peresmian jembatan, nanggap ebleg. Pokoknya apa-apa dimeriahkan dengan ebleg. Anehnya, meski sering Cah Kebumen seperti tak jemu-jemu. Di mana ada ebleg, pasti ada keramaian. Ditandai dari penonton yang membludak sampai bingung mau parkir di mana. Serta munculnya para pedagang dadakan di sekitar lokasi acara, termasuk pedagang makanan unik yang sulit ditemui semacam gembus dan enggeng.

Yang bikin salut lagi, baik penonton maupun wayang banyak yang masih usia anak-anak dan remaja. Saya lega melihat 'kids zaman now' antusias pada suatu kesenian yang menurut sebagian orang dianggap jadul. Antusiasme seperti ini tergolong langka. Teman-teman backpacker saya, bukan satu dua yang tak berminat masuk candi meski sudah di depan mata. Kebanyakan turis dalam negeri hanya betah menonton tari yang dipertunjukan gratis di Kraton kurang dari lima menit. Dan jangan tanya bagaimana nasib museum, ngenes. 

Meski tak akan saya bahas lebih lanjut, berbeda dengan kuda lumping yang lebih menekankan pada mistiknya, ebleg Kebumen yang merupakan cikal bakal dari kuda lumping memiliki muatan yang lebih lengkap. Yaitu mistik, filosofi ideologi nusantara, sejarah, moral, budaya dan tentunya estetika. Dan setelah nonton ebleg, rasanya saya paham kenapa ebleg tetap digandrungi masyarakat. Tak seperti tari klasik yang pelan, anggun dan runtun, gerakan tari ebleg liar dan dinamis. Tak memberi ruang untuk kebosanan. Kita tak tau ekspresi dan gerak macam apa yang akan ditampilkan para wayang yang tak lagi punya kendali atas raganya.

Barongan yang terguling hingga tak mampu lagi berdiri, penonton yang kerasukan lalu tetiba fasih menari, sampai wayang yang berbalik menyerang penimbul (pawang yang bertugas mengembalikan kesadaran wayang yang kerasukan), semuanya menjadi elemen kejutan yang seru dan menegangkan. Hal-hal tak masuk akal yang mampu dilakukan wayang pun tak kalah membuat kesima. Seolah menjadi pengingat, bahwa tak semua hal di dunia ini bisa dinalar dengan logika.