Kisah Keluarga Krisna : Berjalan Modal Iman


Bulan lalu, sepulangnya nonton Banten Culture Festival yang dihelat di Nol Kilometer Jogja, satu keluarga kecil yang juga berjalan menuju arah Kraton menarik mata saya. Dari penampilannya, terlihat kalau keluarga itu adalah keluarga musafir. Sayangnya sebelum saya sempat menyapa, mereka sudah berbelok ke arah lain. Ndilalah, Tuhan mengaitkan takdir saya dan mereka di Kebumen, ratusan kilometer dari Jogjakarta. Dalam perjalanan pulang ke kost setelah memburu sunset, saya melihat mereka untuk kedua kalinya. Kali ini saya tak melepas kesempatan. 

Sembari makan malam, obrolan kami mengalir lancar. Saya berkenalan dengan keluarga kecil yang terdiri dari Pak Krisna, Bu Eis, dan anak mereka Adrian. Menurut saya, keluarga ini benar-benar definisi dari pejalan dalam artian yang sebenarnya. Sejak tiga tahun terakhir, mereka terbiasa berjalan kaki pulang pergi dari Cibubur -tempat tinggal mereka- menuju kota tujuan. Kota terjauh yang pernah mereka capai dengan berjalan kaki adalah Kota Tuban.

Tak seperti saya yang menempuh perjalanan estafet, perjalanan mereka ditempuh pulang pergi. Menurut Pak Krisna lewat perjalanan ini mereka belajar menyatu pada alam, karena di mata mereka alam adalah ayat Tuhan yang hidup. Yang mengejutkan saya, mereka tak membawa bekal sepeser pun dari rumah. Mereka tidur di masjid dan makan ketika ada rezeki dari arah yang tak disangka-sangka. Jangan salah, mereka sama sekali tak meminta-minta (mereka bahkan menolak tiga stasiun tv yang ingin meliput!) tapi selalu ada saja orang yang tergerak menjadi jalan rezeki bagi mereka. Dengan berjalan tanpa uang mereka ingin menjadi bukti kuasa Sang Maha Pemelihara. 

Di Cibubur Pak Krisna berprofesi sebagai guru les musik, namun dengan penampilan sederhana yang telah lusuh dan kotor akibat debu jalanan, keluarga Pak Krisna seringkali menerima perlakuan tak menyenangkan dari orang lain. Dibentak ketika mendekat ke warung, dicurigai saat hendak masuk masjid. Semuanya diterima dengan lapang dada. Pribadi yang rendah hati menjadi hasil dari tempaan kerasnya perlakuan yang mereka terima di jalanan. 

Kepada saya Pak Krisna berpesan agar saya tak meninggalkan sholat. Dan doa adalah yang utama. Ia bilang, sekalipun saya membawa bekal berupa banyak uang, kalau Tuhan berkehendak lain maka semua akan percuma. Saya harus menebalkan keyakinan kepada Sang Maha Kaya. Sembari bercanda Ia bilang, jangan sampai iman kita lebih tipis dari imannya ayam. Ayam setiap pagi pergi keluar mencari makan, pulang dengan perut kenyang, tak pusing memikirkan apa yang akan dimakan besok. Ayam telah 'lebih beriman' pada Tuhan dibanding kebanyakan manusia. Pak Krisna menambahkan, tentunya berdoa tak boleh hanya diam. Dalam kasus Pak Krisna, berjalan adalah ikhtiar mereka dalam mengiringi doa.

Saya benar-benar harus belajar banyak pada keluarga ini. Dengan meninggalkan rumah dan pekerjaan tanpa membawa apapun, kecuali pakaian dan perlengkapan keperluan sehari-hari, mereka telah berulang kali berlatih untuk melepas segalanya. Ketika manusia sibuk menumpuk kebendaan, cemas menghadapi hari esok, mereka justru memeluk erat hakikat manusia yang  sejatinya memang tak memiliki apa-apa. Salut.