Nasi Penggel, Sarapan Ala Cah Kebumen


Sejak membaca sekilas daftar kuliner khas Kebumen, saya sudah langsung penasaran pengen nyobain Nasi Penggel, sarapan khasnya Cah Kebumen. Saya pikir akan mudah saja menemukan warung penjual Nasi Penggel, semudah menemukan warung Nasi Pecel di Jawa Timur. Ternyata salah. Sampai lewat beberapa hari saya tinggal di Kecamatan Karanganyar, Kebumen pun saya belum juga berkesempatan mencicipi Nasi Penggel. Mungkin kebanyakan orang akan berpikir, kenapa saya tidak browsing saja di mana warung Nasi Penggel yang terkenal. Saya memang sebisa mungkin menghindari 'membaca dalam' artikel kuliner atau wisata daerah yang sedang saya kunjungi. Tak mau melakukan reka ulang pengalaman orang lain dan lebih tertarik pada hal-hal yang tak sengaja saya temui dalam perjalanan.

Pada suatu pagi yang muram, kesabaran saya akhirnya membuahkan hasil. Di bangku panjang yang terletak di emperan toko tempat saya menepi dari rintik hujan, saya ngobrol dengan seorang ibu PKL Alun-alun Kebumen yang juga sedang berteduh. Ngobrol ringan tentang hujan, banjir, kota kelahiran saya Pontianak, hingga apa yang sedang saya kerjakan di kota ini. Saat saya bercerita tentang keinginan saya nyobain Nasi Penggel, si Ibu sigap menunjuk sebuah warung di Alun-alun Kebumen yang berjualan Nasi Penggel. Tapi beliau menambahkan informasi berharga, bahwa Nasi Penggel aslinya berasal dari Dukuh Gunungsari, Desa Pejagoan, Kec. Pejagoan, Kebumen. Lalu menyarankan saya untuk makan di sana saja, kebetulan lokasinya cukup dekat. Dari Alun-alun Kebumen, saya tinggal ke utara, belok kiri lalu tetap lurus dari perempatan Pasar Mertokondo, arah yang dituju adalah Jembatan Luk Ulo Tembana.

Diiringi gerimis yang keras kepala tak mau berhenti, saya sampai di Dukuh Gunungsari. Awalnya saya agak heran, karena ketika dikatakan bahwa dukuh ini adalah muasalnya Nasi Penggel, saya sudah membayangkan warung Nasi Penggel yang berjejer. Tapi ternyata hanya ada beberapa warung, itupun cuma satu yang buka : Warungnya Mbak Reny, yang terletak di teras rumahnya. Tak buang waktu, saya memesan satu porsi Nasi Penggel dengan lauk telur dan segelas teh hangat. Belakangan, saat ngobrol panjang dengan Mbak Reny, saya baru tau kalau khasnya Nasi Penggel itu justru lauk jeroan sapi dan mendoan yang berukuran jumbo. Ah, ternyata saya keliru memilih lauk. 

Ada banyak keunikan Nasi Penggel. Misalnya nasinya yang dibentuk seukuran bola pingpong. Pelanggan bebas menentukan mau berapa banyak, standarnya dalam satu porsi ada sepuluh nasi bulat yang disajikan dengan pincukan. Dulu makannya pakai 'suruh', daun pisang yang dibentuk menyerupai sendok. Namun sekarang, banyak orang lebih memilih pakai sendok. Sayur Nasi Penggel cuma satu macam, sejenis sayur lodeh santan dengan nangka muda, daun singkong dan mlinjo. Sementara lauknya adalah olahan sapi. Lengkap, mulai dari kikil, babat, ati, paru, iso (usus), limpa, bungur (cungur), otak dan daging. Sekarang juga ditambahi menu telur serta olahan lauknya ada yang pedas dan nggak pedas.

Mbak Reny bercerita kalau di Dukuh Gunungsari ini hanya ada lima penjual Nasi Penggel. Itupun tak setiap hari kelimanya berjualan. Setiap hari pasti ada satu penjual yang libur. Waktu berjualannya pun terbatas, selepas jam sembilan pagi Nasi Penggel yang belum laku dibawa ke pasar dan warung langsung ditutup. Bisa dibilang satu-satunya penjual yang berjualan tiap hari dan buka dengan jam lebih panjang adalah Mbak Reny sendiri. Ia bilang, tak ingin mengecewakan pelanggan yang sudah jauh-jauh datang. Maklum, pelanggan Mbak Reny banyak juga yang datang dari luar kota. Kalau kamu tertarik pengen nyicipin gurihnya Nasi Penggel jangan khawatir soal harga, sarapan kali ini saya hanya membayar sepuluh ribu rupiah. Lumayan ramah di kantong, kan?