Lampah Budaya Mubeng Beteng : Introspeksi Diri Ala Kraton Jogjakarta
Jam setengah sembilan malam, genta mungil di pagar kost berdenting perlahan saat pagar berayun terbuka. Hembusan dingin udara malam Jogjakarta segera menyapa begitu saya melangkahkan kaki ke luar pelataran. Sembari mengencangkan lilitan syal, saya menyebrangi perempatan Panembahan - Wijilan, berjalan lurus menuju Jalan Kemitbumen. Sayup-sayup tembang Jawa yang terdengar dari kejauhan menjadi mantra yang mempercepat gerak kaki ini.
Gerbang menuju Pelataran Keben terbuka lebar. Tempat yang biasanya sunyi senyap begitu senja beranjak pergi, malam ini (21/09/2017) begitu ramai. Bertermos-termos teh hangat disediakan bagi warga yang memadati tiap sisi Bangsal Ponconiti. Di dalam bangsal puluhan abdi dalem perempuan terlihat sibuk, memasukan nasi dan lauk pauk dalam wadah-wadah kecil berwarna putih. Para abdi dalem kakung berjajar rapi, duduk bersila melantunkan Macapat Dandanggula.
Lamun sira ameguru kaki (Jika engkau meminta nasehat dariku)
Amiliha manungsa sanyata (Pilihlah manusia sejati)
Ingkang becik martabate (Yang baik martabatnya)
Sarta weruh ing ukum (Serta mengenal hukum)
Kang ibadah lan kang wirangi (Yang taat beribadah dan menjalankan ajaran agama)
Sukur oleh wong tapa ingkang wus amungkul (Apalagi mendapat orang suka perihatin yang sudah mumpuni)
Tan gumantung liyan (Yang tak tergantung orang lain)
Iku wajib guronana kaki (Kepadanyalah engkau wajib berguru)
Sartane kawruhanana (Serta belajar padanya)
Keramaian pada malam Jumat Kliwon ini bukanlah tanpa sebab. Ratusan warga datang untuk ambil bagian dalam Hajad Kawula Dalem atau acaranya para abdi dalem yang digelar tiap malam satu suro: Lampah Budaya Mubeng Beteng. Malam satu suro atau malam pergantian tahun jawa tahun ini berselang sehari dari malam tahun baru islam. Tahun jawa berpatokan pada penanggalan Sultan Agungan, sebuah kombinasi cerdas dari kalender saka dan kalender hijriah.
Lampah Budaya Mubeng Beteng sejatinya berawal dari tradisi ronda yang dilakukan para abdi dalem untuk menjaga keamanan keraton. Lalu berkembang menjadi warisan budaya nasional asli Jogjakarta yang terus dilestarikan. Kini, mubeng beteng tak lagi hanya dilakoni oleh para abdi dalem tapi juga masyarakat umum.
Dimulai tepat saat lonceng Kamandungan Lor berdentang dua belas kali, para peserta lampah budaya mengelilingi benteng yang melingkupi Kraton Jogjakarta. Selama menempuh jarak sekitar lima kilometer diharapkan melakukan tapa bisu alias tidak berbicara. Tentu diam tak sembarang diam, tapi diam yang diisi dengan doa.
Saya sependapat dengan seorang pria berpakaian surjan lurik yang duduk tepat di sebelah saya selama macapatan. Ia bilang, Lampah Budaya Mubeng Beteng adalah tradisi malam satu suro yang terlogis. Dalam tapa bisu kita diharapkan untuk mengintropeksi diri. Mengingat-ingat kembali kesalahan yang telah kita perbuat, memikirkan bagaimana kita bisa memperbaiki diri, dan merapal doa. Untuk keselamatan, kesejahteraan dan tahun baru yang lebih baik. Sembari menitip harap di setiap langkah, semoga Gusti Ingkang Maha Asih berkenan mengabulkan.
