Kranggan, Potret Nyata Jogjakarta



Sang surya masih menggeliat di balik peraduan saat saya menderu melewati lenggangnya Jogjakarta. Kali ini tak butuh waktu lama untuk sampai di tujuan. Petugas parkir sigap menyambut begitu motor berbelok perlahan. "Ojo dikunci stang, nggeh," tegurnya sopan. Saya mengangguk sekilas lalu bergegas bergabung dengan keramaian. 

Seorang ibu berdaster batik berjalan pelan sembari mengamati sayuran, mungkin tengah mengingat-ingat apa saja yang harus dibeli. Bunyi pisau daging beradu dengan talenan kayu jadi latar belakang. Kendaraan bermotor tersendat-sendat menembus keramaian pasar. Ya, saya tengah berada di sebuah pasar tradisional. Kranggan namanya. 

Terletak di sisi barat Tugu Jogjakarta, Kranggan sesungguhnya terkenal sebagai pusat jajanan tradisional. Namun kali ini saya hanya memotret area belakang bangunan pasar, tempatnya para pedagang sayur tumpah ruah di bahu jalan menjajakan sayuran segar, buah dan kebutuhan pangan lainnya. Sekilas mengingatkan saya pada Pasar Kebalen, Malang. 

Entah kebetulan atau bukan, baik Kranggan maupun Kebalen selain sama-sama dimulai dengan huruf 'K' juga sama-sama berada dekat dengan sebuah vihara. Bedanya, di Kranggan halaman dalam vihara jadi tempat parkir sementara untuk puluhan kendaraan yang tak muat tertampung di bahu jalan. Mungkin ini yang dinamakan kompromi. 

Saya selalu menganggap pasar tradisional adalah cermin sejati suatu kota. Setiap hari ratusan hingga ribuan orang datang ke sebuah pasar untuk memenuhi hajat hidupnya. Tak ada yang berdandan menor untuk sekedar pergi ke pasar, daster lusuh hingga kaos oblong sisa tidur semalam sah-sah saja jadi pembungkus aurat. Juga tak ada yang menenteng tas bermerk versi kw sebagai upaya panjat sosial, cukuplah selipkan beberapa lembar uang di saku celana. Pasar tak punya waktu untuk kepalsuan. 

Hanya sedikit anak muda di pasar tradisional. Mungkin karena nihilnya sudut selfie tempat anak muda menunjukan bahwa mereka tengah menjalani hidup yang seru dan menyenangkan. Pun pasar tak menawarkan kebanggaan sesaat seperti yang kau dapat saat menggunggah foto gelas kopi dari gerai kopi berlogo putri duyung berekor kembar. Di pasar, kemanapun matamu melihat yang kau temui adalah realitas.

Beralaskan karung, nenek sepuh dengan rambut memutih menghampar dagangannya. Seorang ibu rumah tangga memilih bawang, sembari lirih mengeluhkan harga bahan pokok yang semakin hari semakin naik. Di ujung jalan bapak penarik becak mengunyah jajanan pasar, bekal tenaganya untuk berjuang mengais rezeki hari ini. Sungguh tak ada mimpi-mimpi semu di sini. Pasar, akan senantiasa bicara dalam bahasa kenyataan.





















Terpopuler Minggu Ini