Solo Bikepacking JLS Jawa : Cara Asal Menuju Kota Pelajar


Waktu penjurusan di SMA, saya bertekad ga akan masuk IPA. Sadar diri kalau otak ini minimalis dalam urusan ilmu pasti. Setelah jadi pejalan saya baru tau, ternyata saya tak hanya payah mengitung yang bukan uang, tapi juga ngaco dalam mengingat jalan. 

Cukup sering melewati suatu tempat waktu siang, diajak ke situ pas malam saya dengan pedenya 'merasa asing' dengan tempat itu. Misal pengen ke tempat A dari tempat B padahal biasanya ke sana dari C, ya mesti ke C dulu. Jika dibonceng trus si temen nanya lewat mana, saya jawab dengan cengiran yang artinya, "kalau kamu nanya aku trus aku nanya siapa?"

Jadi wajar jika saya dan kesasar adalah sobat karib. Salah belok, ga tau lagi di mana, sampe jadi Bang Toyib yang lupa jalan pulang. Curiga jangan-jangan pembawaan yang 'nyantai menjurus ke pasrah' dalam perjalanan itu akibat terlalu sering nyasar. Terserah deh nyampenya jam berapa, lewat mana, yang penting nyampe. Kalau ga nyampe juga? ya ke tempat yang lain. Woles.

Google Maps baru saya gunakan sejak project '30 Hari 30 Cafe' beberapa bulan yang lalu. Sebelumnya GPS yang saya andalkan adalah GPS versi jadul alias 'Gunakan Penduduk Sekitar' alias nanya orang di jalan. Jadi inget pas backpackeran di Semarang, saat mau pulang ke kost saya sering 'ngeblank' dan berujung nanya ke tukang parkir. Konyolnya, setelah terjadi beberapa kali, baru ngeh kalau selama ini hilang arah di tempat yang sama dan (parahnya lagi) nanya ke orang yang sama. Pantes aja muka si mas kayak ada kecut-kecutnya.

Selama tiga tahunan GPS versi jadul itulah yang mengantar saya ke mana-mana, termasuk saat melintas provinsi. Berangkat dari Yogya pake motor sendirian, berkat arahan orang di jalan saya sampai di Malang. Tapi tak jarang pula saya sengaja nggak mengakses GPS, baik yang modern maupun yang jadul. Alasan puitisnya sih pengen mengalir bersama perjalanan, kalau bahasa kasarnya? sengaja menyesatkan diri. Seperti dalam perjalanan saya dari Pacitan ke Yogya baru-baru ini. Akibatnya, perjalanan yang harusnya cuma makan waktu tiga jam molor jadi enam jam. 

Yogya sebenarnya tak masuk daftar kota yang akan saya explore dalam perjalanan Solo Bikepacking kali ini. Namun saya harus menuju Yogya untuk mudik ke Pontianak via Adi Sucipto. Seorang teman yang baru saja pp Yogya-Pacitan memberi tahu kalau baiknya saya menghindari jalur selatan karena sedang ada perbaikan jalan. Jalur yang disarankan adalah jalur tengah, melewati Kota Wonogiri dan Solo. 

Dengan bantuan plang petunjuk arah saya sampai ke Kota Wonogiri tanpa hambatan. Saat berhenti untuk makan siang, saya sempat mengecek sisa jarak yang harus saya tempuh, yaitu sekitar 62km lagi. Sialnya di salah satu lampu merah pusat kota tak ada plang arah. Saya memilih belok kiri secara random. Melihat tulisan jalan provinsi, saya rasa saya ada di jalan yang benar. Tapi di pertengahan, jalan besar itu ditutup untuk jalur satu arah. Di situlah mulai ngaco, masuk ke jalan-jalan kecil. Ketika balik lagi ke jalan besar, saya sudah kesasar. 

Saya putuskan untuk mengikuti jalan saja. Sampai di suatu pertigaan, ada plang yang menunjukan arah menuju Yogya. Saya harusnya lebih aware bahwa plang itu 'unofficial' dan jalannya pun agak kecil. Pastinya bukan jalan kota apalagi jalan provinsi. Saya sudah terlalu jauh masuk saat yakin kalau itu cuma jalan kampung, yang sepi dan menanjak. 

Melewati Waduk Parangjoho, sawah-sawah yang mulai menguning dan view entah kota apa dari ketinggian, sudah hampir dua jam saya mengikuti lekukan jalan Eromoko saat melihat patok kilometer di tepi jalan yang menunjukan kalau Yogya masih berjarak 62km lagi! Wth. Terus demi apa coba motoran dua jam lebih tadi?

Meski mangkel, mau putar arah pastinya sudah kepalang tanggung, jadi saya terus saja. Jalan itu akhirnya tembus di daerah Ponjong, Gunung Kidul. Yang bikin ketar-ketir, perjalanan menuju Sleman -tempat penginapan yang saya booking- masih jauh, tapi bensin sudah di garis merah. Padahal mengisi bensin di perjalanan cukup menyusahkan. Harus 'membongkar muatan' alias melepas tas keril dan ransel yang terikat di jok.

Dilema memilih mana yang lebih merepotkan: mendorong motor kehabisan bensin yang ketambahan bawaan belasan kilo atau mesti bongkar muatan di SPBU. Akhirnya saya nekad saja, mengharap kerjasama si motor butut. Di situlah saya angkat topi buat supra jadul yang walau acap kali bengek di tanjakan tapi amat irit. Pertamax dua puluh lima ribu yang saya isi di Pacitan ternyata cukup untuk perjalanan enam jam ini, saya tiba di penginapan tanpa harus mengisi bensin atau mendorong motor. Padahal kata Mas Rusdhi, teman yang saya amanahi motor butut selama saya mudik, kesasar saya ga tanggung-tanggung. Untuk menuju Yogya kali ini, saya telah 'mondar-mandir' di jalur selatan - utara - selatan. Ckckck, kesasar kok totalitas.