Solo Bikepacking JLS Jawa : Menjadi Muda di Paruh Baya


Sebagai pejalan, ada beberapa pertanyaan yang sering ditanyakan orang pada saya. "Apa yang kamu cari?" termasuk salah satunya. Respon saya terhadap pertanyaan ini sesuai mood. Kadang saya bilang mencari kitab suci, kadang mencari jalan keluar. Pernah pula saya jawab, "saya ga tau apa yang saya cari, makanya ga menemukan apa-apa." Padahal jawaban jujurnya: saya tidak sedang mencari apapun. Sorry if i ruin your imagination.

Kebanyakan orang agaknya menganggap bahwa pejalan adalah 'orang yang sedang dalam misi pencarian'. Di pikiran saya, kenapa harus ada yang hilang dulu baru kamu mau pergi? Saya justru bertekad pergi sebelum kehilangan sesuatu yang tak akan bisa dibeli lagi: masa muda. Saya ingin melihat sebanyak mungkin selagi masih segar bugar. Apa enaknya coba  berpergian saat berdiri saja sudah bikin encok kumat. 

Sedangkan soal pencarian, saya telah lama sadar bahwa dalam banyak kasus pencarian harus selalu dimulai dari dalam. Perjalanan cuma memberi waktu untuk berefleksi, berkaca ke dalam diri. Meski begitu benar pula jika dikatakan perjalanan akan menalikan takdirmu dengan kejadian dan orang-orang yang akan menjadi 'kunci jawaban' dari banyak pertanyaan hidup. Termasuk salah satu yang sering saya tanyakan kepada diri: sampai umur berapa saya mampu jadi 'pejalan full time'.

Saya sempat berpikir sampai umur tiga puluh lima tahun saja sudah bagus. Sampai akhirnya dalam upaya saya mengejar moment golden hour di Pantai Klayar saya bertemu dengan empat orang pejalan senior yang rerata umurnya enam puluh tahun, dua pasang suami istri yang dulunya adalah teman sekolah. 

Waktu itu, meski ada banyak homestay di sepanjang jalan menuju Klayar, saya memilih homestay yang berada tepat di depan pantai dengan pertimbangan akan lebih mudah ketika akan keluar memotret sunrise. Di homestay yang saya pilih tersebut sudah ada tenant lain. Setelah check in, kami cuma sempat bertukar sapa sebentar sebelum saya keluar untuk mengunjungi Pantai Banyu Tibo yang terkenal dengan air terjunnya dan melihat batu karang serupa wajah wanita -ikonnya Pantai Buyutan- tersepuh warna senja. 

Setelah pulang, sesama tenant homestay itu mengajak untuk duduk-duduk bareng sembari menunggu makan malam. Saat itulah saya berkenalan dengan ibu Iin Suryani dan Ibu Tatik dengan suami masing-masing. Dari awal, saya sudah angkat jempol buat mereka berempat. Di umur yang sudah lebih dari separuh abad mereka masih berkendara dengan kendaraan pribadi untuk jalan-jalan ke Pacitan. 

Makin lama ngobrol, saya makin salut. Mereka pernah traveling dari Bali sampai ke Lampung dalam sekali jalan, pakai acara nginap di SPBU pula! Saya aja ga berani. Pengetahuan soal objek wisata pun amat luas. Jangankan destinasi mainstream seperti Bromo, Karimun Jawa, atau Dieng, saya menyebut nama tempat saja mereka bisa menceritakan asal usul dan hikayat dari tempat tersebut. Apalagi menceritakan soal pentas seni dan kuliner Solo yang jadi kota asal, lancar pastinya. 

Sampai sekarang pun mereka tak kendor dalam menjelajah tempat baru. Pantai Tiga Warna yang sedang hits masuk dalam bucket list mereka. Padahal kebanyakan orang asli Malang yang sudah bekeluarga saja biasanya beralih ke Pantai Balekambang atau Pantai Ngliyep yang lebih gampang aksesnya dan lebih lengkap fasilitasnya. Pertemuan dengan mereka seolah mengajari, bahwa umur tak lebih dari sekedar angka. Kamu bisa berjalan sampai kapanpun, selama semangat masih nyala. Salut.





Ga dapat sunrise di Klayar, mendung sampai pagi

Pantai Banyu Tibo, foto lain klik di SINI

Pantai Buyutan (foto lain klik di SINI)

Pantai Karang Bolong (foto lain klik di SINI)