Solo Bikepacking JLS Jawa : Sebuah Perjalanan dan Cara-cara Indah Menikmatinya

Terkadang, saya merasa terbebani dengan ekspektasi orang lain terhadap perjalanan saya. Agaknya seorang pejalan itu harus selalu pergi ke tempat yang viewnya spektakuler. Lalu bikin photoshoot di sana, pakai topi koboi atau jubah kain tradisional seperti para selebgram. Pejalan juga mesti sering ngelakuin aktivitas yang menantang. Berkendara ke tempat yang akses jalannya lebih pantas dijadikan lintasan offroad, lalu lanjut trekking berkilo-kilometer. Travel video ga boleh lupa, terutama moment pas menyebrangi sungai, mendaki gunung atau melintas lembah. Pas udah sampai di tujuan ingat buat teriak-teriak “my trip my adventure!” Duh, ngebayanginnya aja saya capek.

Sebelum masuk komunitas backpacker, saya pikir wajar-wajar saja kalau saya senangnya main ke tempat-tempat jadul. Pasar, masjid tua, stasiun, museum, candi, keraton, sampai makam kuno. Saya tadinya juga hobi ‘ga ngapa-ngapain, ga kemana-mana’. Datang ke suatu daerah cuma buat ngerasain gimana sih rasanya tinggal di daerah itu. Dengar logat penduduk asli, nyobain makanan khas, atau sekedar bengong di tepi jalan. Jadi ingat pas di Yogya, ada mas-mas yang heboh nanya saya tinggal di mana, nunggu siapa, perlu dibantu apa? Saking dianya heran ngeliat saya duduk lama di trotoar. Padahal saya lagi ‘menikmati’ Yogya, bukannya lagi frustasi. Tapi makin ke sini saya merasa kayak alien ketika teman-teman backpacker seperti berlomba menjelajah alam dan menganaktirikan destinasi lain.

Teman saya bilang, kalau sekarang ini backpackeran ya ke alam. Selain itu namanya tamasya alias piknik.  Ada pula yang berkomentar: andai ia punya kesempatan seperti saya, ia akan bertualang. Ke pantai perawan atau gunung yang menunggu ditaklukkan mungkin. Yang pastinya, stasiun apalagi pasar ga bakal masuk daftar tujuan. Banyak juga yang heran ketika saya ga pergi ke destinasi alam populer di sekitar kota yang saya singgahi dan lebih memilih tempat yang menurut mereka basi. Masa sih ga ke sana? / Trus ngapain kamu ke kota itu? / Ga ada apa-apanya di museum! / Emang Pontianak ga ada pasar? Seolah mendatangi alam adalah tuntutan dan bukan lagi sebuah pilihan.

Sisi logis saya bilang, kok ribet amat sih? masa jalan aja ada standarnya? suka-suka dong. Tapi kadang terbersit juga rasa bersalah, are this opportunity wasted on me? Mungkin kalau teman-teman yang berkesempatan melakukan perjalanan ini, ceritanya bakal lebih seru. Saya bayangkan jika Nadin yang pergi, ia menjulang tinggi di atap negeri ini. Rinjani, Kerinci, Binaiya, Latimojong, Bukit Raya, bahkan mungkin Carstensz. Kalau Nick yang berjalan, ia akan memburu moment sunrise-sunset paling dramatis, lalu membuatmu mupeng melihatnya berendam di kedung alami, berenang bersama ubur-ubur tak beracun di Kakaban, sampai ke Derawan. Belum lagi Jojo. Saya pernah melihatnya nekad ingin berdiri di tebing karang yang sedang dihantam ombak setinggi rumah padahal ga bisa berenang, hingga menungguinya saat ia iseng ‘membuat’ jalur sendiri buat sampai ke puncak sebuah bukit. Dengan stamina 100% dan urat takut nyaris putus, bayangin aja apa yang mungkin terjadi kalau ia yang datang ke Pacitan ini. Mungkin ia akan menjajal lintasan flying fox Pantai Taman atau masuk Goa Luweng Jaran, salah satu goa terpanjang di dunia.

Teman-teman saya perempuan pemberani, tapi balik lagi... this journey is mine. Ga peduli sebegah apapun hati saya dengan rasa bersalah, saya ga mau menjadi orang lain. Saya kan bukan mereka, kenapa harus seperti mereka? Kalau di perjalanan saja saya memakai topeng lalu kapan bisa jadi diri sendiri coba? Pun sesumpek-sumpeknya telinga ini mendengar kritik atas ‘gaya berjalan’ saya, tetap ga mampu memaksa diri untuk mengikuti standar orang lain. Kalau mampu, saya pastinya masih di Pontianak sekarang ini.

Makanya saya lega waktu Rulli menulis bahwa ia datang ke Yogya cuma buat baca buku di penginapan. Teman kecil yang saya panggil kutu juga cerita, dibanding ngebolang ke hidden paradise-nya Tulungagung yang sanggup bikin para pejalan gagal move on, ia lebih memilih wisata kuliner ke cafe-cafe. Mereka membantu saya menyadari kalau menyenangi hal yang berbeda dari kebanyakan orang bukanlah sebuah dosa. Mengisi perjalanan dengan aktifitas normal seperti membaca atau sekedar datang ke gerai es oyen yang terkenal enak, juga sah-sah saja. Saya ga perlu merasa bersalah. Ga berhutang kata maaf pada siapapun ketika perjalanan saya tidak se-adventurous perjalanan orang lain. Saya tak sedang berusaha membuktikan apapun dalam perjalanan ini. I am just being me.

Agaknya saya harus terus mengingatkan diri bahwa setiap orang punya tujuan masing-masing ketika berjalan. Ada yang ingin menaklukkan, ada yang butuh pelarian, ada yang hendak menunjukkan, ada pula yang sekedar ingin melihat. Seperti saya. Dan apa yang saya lihat bukanlah urusan orang lain. Saya tak anti alam tentunya, siapa sih yang ga suka sama pemandangan indah ala wallpaper? Saya cuma merasa tak harus melulu datang ke alam untuk menemukan keindahan. Di mata saya, masjid agung yang menyaksikan jutaan pertemuan seorang hamba dengan Tuhan-nya; aroma manis yang menguar dari lembar buku tua di rak perpustakaan kota; serta taman alun-alun tempat warga mengadukan lelahnya, pun terlihat indah dengan caranya sendiri-sendiri.