Solo Bikepacking JLS Jawa : Bepergian Tanpa Rencana, Kenapa Enggak?

Saya punya dua orang teman yang berpengalaman solo traveling. Uniknya, mereka punya banyak kesamaan: sama-sama cewek, berinisial R, ga bisa motoran, dan amat detail menyusun rencana perjalanan (yang dalam bahasa kerennya disebut itenerary). Salah satunya pernah curhat ke saya kalau ia lelah menyusun rencana perjalanan dan nanya apa saya ga ngerasa gitu juga? Saya jawab nggak. Jelas, orang ga pernah bikin.
Itenerary Mbak R, ini masih belum selesai loh
Boro-boro bikin rencana perjalanan, pesan kamar aja ga pernah. Semisal di Kota A ingin nginap di penginapan, saya browsing di daerah mana yang banyak penginapannya. Begitu juga jika ingin ngekost, saya cari iklan kost di situs iklan, screenshot alamatnya kemudian datangi satu persatu. *Di Malang dan Tulungagung, saya beruntung punya teman yang nyiapin kamar kostan lebih dulu.

Melihat ke belakang, rute perjalanan saya mengalir sesuai kesempatan yang ditawarkan hidup. Desember 2013 saya pergi dari Pontianak dan memilih Semarang sebagai tujuan awal karena tiketnya yang murah. Dengan tebengan anak Purpa (Pura-pura Pecinta Alam) yang saya kenal di Candi Gedung Songo, saya sampai di Yogya. Berkomentar di grup backpacker, seorang backpacker Malang mengajak untuk datang ke kotanya. Begitu kost di Yogya habis masa sewanya, saya berangkat. Sebulan kemudian saya menyusul keluarga yang lagi liburan di Sidoarjo, mereka ingin diantar jalan-jalan ke Yogya. Setelah mereka pulang ke Pontianak, saya tetap tinggal di Yogya sebulan. Hingga akhirnya saya memilih Malang sebagai home base selama tiga tahun.
Kalau ada yang nanya jalan2 dapat apa? Saya jawab : teman.

Dari tiga tahun yang lalu hingga perjalanan JLS Jawa yang baru dimulai ini, saya ga bikin rencana perjalanan. Mungkin alasan sebenarnya sih malas, tapi menurut saya ada beberapa keuntungan dari 'berpergian tanpa rencana'. Yang pertama, tak mudah kecewa. Dalam hal memilih tempat yang saya datangi saya punya tiga metode: browsing, clearing route, dan reference. Browsing: saya selalu mulai browsing ketika sudah sampai di kota yang akan saya jelajahi. Mengetik 'objek wisata kota X', membaca tiga sampai lima website teratas, mengingat-ingat beberapa tempat yang menarik. Kemudian memilih yang mau didatangi sesuai sikon. Clearing route: misal dalam perjalanan menuju tempat wisata A saya melihat plang arah ke tempat B, tapi tak sempat mampir, besoknya saya akan datang ke B. Reference : meminta rekomendasi tempat dari penduduk lokal yang jadi teman ngobrol di jalan. Ketiganya sama saja, saya cuma punya info dasar (kondisi akses jalan dan soal keamanan). Nah, karena dari awalnya saya tak punya banyak informasi tentang tempat itu, saya tak menaruh ekspektasi. Jadi saya biasa saja kalaupun ternyata tempatnya tak menarik.
Hasil clearing route
Kedua, tak punya beban. Tau sendiri kan gimana rencana perjalanan. Tempat yang ingin dikunjungi dalam satu hari didaftar, lalu dijadwal. Itu ga mudah loh bikinnya, teman saya sampai pusing ngeliatin google maps buat ngecek jarak dan mengatur rute. Kalau jadwal yang sudah dibuat dengan susah payah itu meleset karena faktor X semisal cuaca, macet dan lain-lain, dikit banyak pasti mangkel. Sedangkan saya bebas karena ga punya jadwal yang harus diikuti. Waktu ke Ranu Gumbolo, ada banyak selfier di spot yang ingin saya foto. Saat itu tengah hari, di pikiran saya kalaupun mereka pergi, hasil foto akan over exposure. Tebak saya ngapain? bobo-bobo dulu di gazebo.
Leyeh-leyeh sambil nginceng orang pacaran
Ketiga, lebih sesuai sikon. Rencana perjalanan biasanya dibuat sebelum berangkat, iya kan? Jadi ada kemungkinan rencana itu tak sesuai sikon terbaru. Gimana kalau cuaca mendung sementara di itenerary kamu liat sunset? Sementara saya, perjalanan hari Selasa akan saya pikirkan paling cepat Senin, perjalanan Rabu akan saya pikirkan paling cepat Selasa. Misal kemarin hujan lebat, hari ini saya bakal ngindarin tempat yang aksesnya jalan tanah. Andai saya tiba-tiba kurang fit tapi tetap ingin keluar, saya bakal pergi ke tempat indoor seperti museum dan galeri. Rencana yang disesuaikan sikon itupun masih bisa gagal. Tapi inilah point keempat: fleksibilitas. Ada perubahan rencana? let it be, i don't mind at all. Seperti kemaren, cuaca cerah bikin pengen nyantai di pantai. Pas lagi manasin motor baru sadar besi penyangga box motor ternyata patah. Mesti dilas kalau ga mau box itu gelundungan di jalan. Baru kelar jam sepuluh lewat, mau ngapain coba ke pantai dekat tengah hari? acara mantai saya batalkan. Pulang dari bengkel las, eh ngeliat plang arah menuju Waduk Wonorejo. Ga pake mikir untuk berbelok ke sana. Ujungnya saya malah nyampe di danau yang amat instagramable.
Danaunya instagramable, orangnya enggak. Babah
Bukan berarti saya menganggap membuat rencana perjalanan itu ga penting. Nggak gitu. Ada banyak manfaat dari punya rencana perjalanan: meminimalkan resiko (karena sudah punya info detail), prepare lebih maksimal (sudah tau 'medan' jadi bisa prediksi apa aja yang mesti disiapin), perjalanan terarah, waktu bisa dimanfaatkan optimal, biaya terkalkulasi, sudah lebih siap andai terjadi hal yang tidak diinginkan (teman saya juga mencatat nomer darurat) dan berbagai manfaat lainnya yang mungkin suatu saat bakal jadi bahan tulisan Mbak R. Intinya saya sepaham kalau itenerary amat berguna dan bisa jadi semacam kompas dalam perjalanan. Tapi seperti juga berpergian tanpa rencana tak mungkin cocok untuk semua orang, berpergian dengan rencana pun begitu. As for me,  i will let serendipity and randomness guide my journeys.

Terpopuler Minggu Ini