Apa tantangan tersulit dari menulis? Saya memilih konsistensi sebagai jawaban. Seseorang bisa saja menulis sebuah artikel seribu kata dalam waktu sekian menit di suatu hari, kemudian esoknya cuma mampu mengetik "potato-potato, ching chong tomato" setelah duduk di depan laptop selama berjam-jam. Makanya saya maklum jika blog 'kemplokoplak' terakhir update sebulan lalu, juga maklum jika 'project 30 hari' seorang teman belum juga tamat di bulan kedua. Writing is no joke.
Saya sendiri terseok-seok menulis travel log seri bikepacking JLS Jawa ini. Kalau travel log Tulungagung bulan lalu diumpamakan seperti kran air tak tertutup sempurna, maka di Pacitan ini tulisan saya serupa selokan mampet. Normalnya saya membuat satu tulisan untuk satu atau dua tempat, tapi di Pacitan satu tulisan bisa mengcover sampai tujuh tempat. Memakai mood swing sebagai pembenaran, ah dasar amatir.
Meski ada banyak tempat yang bukan cuma tak saya tulis, tapi juga tak masuk dalam blog, saya memutuskan untuk mengakhiri travel log bulan kedua dengan tulisan ini. Sesuai dengan kata rekam pada judul, di kota Pacitan saya memang lebih banyak merekam ketimbang memotret. Di kota ini pula ritme perjalanan saya berbeda dari kota lainnya.
Jika di kota lain, saya lebih banyak mendatangi landmark kota seperti pasar, candi atau museum, di kota Pak BeYe ini 27 dari 39 destinasi yang saya datangi adalah objek wisata alam. Mungkin tertantang untuk membuktikan bahwa jika mau, saya pun mampu untuk berpetualang ria. Mungkin pula memang sedang butuh 'dosis mantai' yang cukup tinggi. Apapun alasannya, saya akui itu kekanakan.
Di Pacitan, saya benar-benar merasakan yang namanya berjalan sesuka hati. Keluar dari kost, memilih satu arah mata angin atau belokan secara acak, kemudian kaget sendiri ketika perjalanan random tersebut menyuguhkan view ciamik. Lebih menyenangkan ketimbang perjalanan yang sudah ada tujuannya. Meski pernah juga saya harus berkendara tujuh puluh kilometer baru mendapatkan view yang dirasa cukup untuk jadi penebus lelah.
Saya memang tak bisa menyebut Pacitan sebagai tempat favorit. Tapi saya berterima kasih atas banyak hal. Di kota ini saya bertemu para pejalan senior yang meyakinkan saya bahwa perjalanan masih panjang. Di sini pula saya membuat beberapa tulisan tentang keluarga sebagai upaya menyortir perasaan. Dan sekian banyak bentang alam yang saya datangi di surga Pulau Jawa ini telah meneguhkan tekad saya untuk memilih Human Interest sebagai genre fotografi yang akan ditekuni. Finally.
Last but not least, sebulan yang saya lalui di Pacitan juga mengubah anggapan saya tentang sunset. Dulu saya menganggap orang yang menyenangi moment matahari terbenam adalah si pesimis yang muram. Sampai akhirnya setelah sekian kali mengiringi si bola emas kembali ke peraduannya saya sadar bahwa sunset juga bisa jadi simbol harapan. Mengajari kita bahwa hari yang buruk ternyata masih bisa berakhir indah. Begitu juga dengan perjalanan. Seperti itu pula hidup ini. Hari-harimu terasa berat? bertahanlah.
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhyqMKP9zijzMeGupUOT-3Hmg2eU2PjEz8LHjNTCHrhvZTzr0cCmXv8kS5H4ygu43bLQ7RQ543tn0fCxRfdj3WWIIV9JMaS5Qx2ykCWglIGWmEH06c_b6cUrG2wVUH6H45LwIzaFii5vKWw/s640/SAM_5764-01.jpeg) |