Solo Bikepacking JLS Jawa : Pantai dan Alasan Mencintainya
Lebih sering ya daripada tidak, kita punya alasan ketika menyukai sesuatu. Meski kadang tak selalu mampu menyebutkan apa. Alasan itu memang acap terendap di bawah sadar.
I always fond of beaches. Padahal tak bisa berenang. Dan seperti lazimnya orang yang tak punya kemampuan mengapung, saya selalu parno ketika dikelilingi air. Makanya di pantai saya jarang mandi, paling hanya berjalan di pesisir. Persisnya lagi di tempat yang dikenai ombak, tapi sedikit saja. Sekedar cukup untuk membasahi kaki.
Tadinya saya pikir di Kota 1001 Goa ini saya pasti antusias menjelajah goa. Mengingat saya adalah pengagum keindahan stalaktit. Kenyataannya, Goa Gong (yang konon adalah goa terindah se-Asia Tenggara) saja baru saya kunjungi di pertengahan waktu yang tersisa di Pacitan. Saya sendiri sampai heran ketika menulis list tempat yang telah saya kunjungi. Dipenuhi nama pantai, pantai dan pantai lagi.
Baru akhirnya, ketika menghabiskan senja di pantai yang berjarak paling dekat dengan pusat kota Pacitan, saya menemukan jawaban. Atau lebih tepatnya, mengingatnya kembali. Memandangi refleksi langit yang muncul di pasir basah, saya mengingat muasal keterikatan saya pada pantai. Mengapa kemanapun saya pergi, pantai tak pernah alpa jadi tujuan.
Pondasi rumah tangga orangtua saya rubuh ketika saya berumur dua tahun. Saya tak mampu mengingat seperti apa keluarga kami ketika masih utuh. Tidak bisa membangkitkan kenangan apa-apa soal bapak sebelum perceraian itu. Apalagi untuk membayangkan bentuk rumah kami dulu. Tapi di tengah kotak memori yang nyaris kosong, ada satu yang tersisa.
Saya ingat serunya bermain ayunan. Ingat kakak saya yang waktu itu memakai baju kodok. Ingat rasa pasir yang menempel di telapak tangan ketika saya jatuh karena kakak terlalu bersemangat mendorong ayunan. Dan ingat ibu yang menunggui kami bermain. Kenangan satu-satunya yang saya punya itu... berlatar pantai.
Kini hubungan keluarga kami menjadi lebih rumit. Terlalu banyak rasa yang gagal dijembatani kata. Pun sudah ada keluarga-keluarga baru, babak-babak baru, di mana saya hanyalah pelengkap cerita. Pemain lama yang antara ada dan tiada.
Puluhan tahun adalah waktu yang lama, saya pikir saya sudah bisa menerima. Tapi tanpa sadar, setiap kali menjejakkan kaki ke pantai sesungguhnya saya tengah menyambangi kenangan. Sejenak mengulang kisah yang telah lama tamat. Baru sekarang saya paham, dalam perjalanan saya pantai bukanlah tujuan, melainkan jalan pulang... ke rumah yang tak lagi ada.
"Meski sekejap, lega bisa menemuimu kembali..."