Solo Bikepacking JLS Jawa : Pacitan, A Paradise That Won't Be Missing
Ternyata saya ga betah di kota Pak Beye. Makanan mahal! Saya pikir dompet aman selama masih di Jawa Timur. Makanya menurut rencana awal, dua bulan yang saya lalui di Jatim akan saya gunakan untuk menghemat amunisi. Sebelum harus berhadapan lagi dengan mahalnya Kalimantan saat pulkam nanti. Mana tau sudah babak-belur duluan sebelum perang yang sesungguhnya dimulai.
Mungkin saya sedikit bias karena
baru saja dari Tulungagung. Setelah euforia nyemilin ayam goreng ala KFC
seharga dua ribu rupiah, saya mesti balik ke kenyataan pahit kalau ayam goreng
itu lauk bukan cemilan. Tapi yang bener aja deh, dua puluh tujuh ribu buat
seporsi sate ayam plus teh hangat di warung kecil pinggir jalan? Ter-la-lu.
Jalur Lintas Selatan menjadi salah satu pemicu mahalnya biaya hidup di Pacitan. Meski di internet tidak banyak info mengenai kost-kostan Pacitan, kenyataannya bisnis kost-kostan justru tengah menjamur di kota ini. Waktu berburu tempat tinggal, saya menemukan enam kost-kostan hanya dari mengecek sekilas dua jalan saja. Rata-rata bangunannya besar, baru dan sudah penuh. Kalaupun ada yang masih lowong, hanya tersisa satu atau dua kamar saja. Penjaga salah satu kostan bilang: semenjak JLS selesai, Pacitan berkembang cukup pesat. Ada banyak lowongan di sini. Kalau dulu wong Pacitan merantau untuk mencari pekerjaan, sekarang giliran Pacitan yang dibanjiri arus pendatang. Kota kecil yang tadinya sepi mulai menggeliat. Roda ekonomi tengah berputar ke atas.
Jalur Lintas Selatan menjadi salah satu pemicu mahalnya biaya hidup di Pacitan. Meski di internet tidak banyak info mengenai kost-kostan Pacitan, kenyataannya bisnis kost-kostan justru tengah menjamur di kota ini. Waktu berburu tempat tinggal, saya menemukan enam kost-kostan hanya dari mengecek sekilas dua jalan saja. Rata-rata bangunannya besar, baru dan sudah penuh. Kalaupun ada yang masih lowong, hanya tersisa satu atau dua kamar saja. Penjaga salah satu kostan bilang: semenjak JLS selesai, Pacitan berkembang cukup pesat. Ada banyak lowongan di sini. Kalau dulu wong Pacitan merantau untuk mencari pekerjaan, sekarang giliran Pacitan yang dibanjiri arus pendatang. Kota kecil yang tadinya sepi mulai menggeliat. Roda ekonomi tengah berputar ke atas.
Balik lagi soal makanan, kalau mahal tapi enak
mungkin bisa ditolerir. Sayang makanan Pacitan tak menggugah selera. Hampir
dua minggu di sini baru sekali saya ngerasain makanan enak. Ga berani juga sih
bilang ga enak. Ga pas di lidah, gitu aja. Kalau Yogya terkenal manisnya, Padang
kondang dengan pedas dan santannya, maka makanan Pacitan hambar. Ga asin, ga
manis, ga pedes. Datar. Masalahnya, sehabis makan makanan yang tak sesuai selera, saya selalu merasa masih lapar. Padahal bukannya perut belum penuh, tapi ingin mengenyahkan rasa yang mengganggu di lidah. Makin boros buat beli cemilan.
Akhirnya saya mutusin
buat ga lagi beli makanan jadi dan masak saja. Kebetulan kamar
kost yang sekarang dilengkapi dapur mini meski tanpa wastafel. Magic jar juga
bebas dipakai tanpa kena charge listrik lagi seperti di kostan terdahulu.
*Kenapa? Belum pernah dengar orang backpackeran bawa magic jar? Duh, kamu pikir
kenapa motor saya ada boxnya? Ya buat bawa magic jar keles.
Sudah belanja beras, telor, mie
dan seperangkat alat ngirit lainnya, eh kompor ternyata ga bisa hidup. Kompor yang
jauh-jauh saya bawa dari Kalimantan, kompor
keramatku, rusak... Padahal tadinya segar bugar saja, masih membantu
saya membuat secangkir kopi sebelum berangkat ke Pacitan. Sudah coba berbagai
cara, tetap tak ada tanda-tanda kehidupan di kompor itu. Umm, ga banyak-banyak
amat sih caranya. Paling coba baca Bismillah sebelum ngidupin, memelas merengek,
“Ya Allah, tolong idupin kompornya dong,” atau ngancam ke kompornya, “idup ga, ga idup juga gua banting lu!”
Meski kompor itu tetap setia
dalam diamnya, saya belum mau menerima kenyataan kalau si kompor mengakhiri
masa baktinya di tahun kelima. Masih berusaha nyari tukang servis. Duh, mangkelnya
kerasa pake banget kalau baru sampai di kota asing ada barang yang mesti
dibenerin. Bukan apa-apa, tempat makan yang ramah di kantong aja belum
dapat, udah mesti nyari tukang servis. Berasa kayak belum pake daleman udah
disuruh pake jaket.
Pas di Tulungagung bulan lalu,
saya mesti bertualang dari bengkel ke bengkel buat nyetel velg. Setelah nyiumin
lobang di jalur Malang-Tulungagung, orientasi kedua velg motor saya jadi
belok. Di oper sana-sini, saya baru
nemuin yang bisa ngelurusin kembali
velg-velg itu di bengkel ke lima. Sekarang giliran si kompor yang minta
didandanin.
Keluar masuk pasar, toleh kanan
kiri, nanya sana-sini, still no luck.
Ga nemu juga tukang servis kompor. Saya malah nemu warung makan unik di salah
satu jalan yang saya jelajahi dalam misi benerin kompor. Warung makan Bu Lekek
namanya. Slogan “Utamakan Sarapan” yang dipampang besar-besar menarik perhatian
saya yang kebetulan belum sarapan. Begitu masuk ke warung ini, yang muncul dipikiran
adalah seorang teman karib yang saya rasa bakal seneng makan di sini.
Kadang saya pengen punya
kemampuan mendeskripsikan ala Ayu Utami. Supaya bisa bikin si teman itu
ngebayangin gimana perpaduan antara rumah tua Jawa di latar belakang, barisan sepeda
ontel, dan segala pernak-pernik membuat nuansa jadul cukup kental di Warung Makan
Bu Lekek.
Sambil makan, saya sempat pula ngobrol dengan Pak
Lekek. Pria paruh baya yang hobi mengkoleksi sepeda ontel. Beliau bukan cuma mengapresiasi
ketika mendengar cerita perjalanan saya, tapi juga memberi saya nomer telpon
genggamnya. “Hubungi kalau perlu bantuan
apa-apa,” begitu pesannya.
Ketika saya bilang lagi nyari
tukang servis kompor, Pak Lekek sigap menelpon bukan cuma satu tapi dua orang
tukang servis yang ia kenal. Saya sudah senang, tadinya saya pikir kompor keramat
akan kembali dari mati suri. Tapi melihat kedua tukang servis itu mengamati
kompor saya seperti mengamati batu dari luar angkasa, saya tau harapan saya
sudah pupus. Agaknya saya harus hidup dari satu angkringan ke angkringan
lain sampai waktu yang tak ditentukan. Pacitan mungkin
adalah destinasi impian bagi pejalan lain, a paradise. Tapi buat saya, surga yang tak mengenyangkan adalah surga yang tak
akan saya rindukan.