Solo Bikepacking JLS Jawa : Kecanduan Pantai

Lagi-lagi judulnya adalah tipuan. Saya bukan hendak menulis tentang orang yang keranjingan mantai. Tapi ingin cerita tentang orang yang kecanduan, dan pantai. Siapa yang kecanduan apa? Saya pastinya. Masa mau ngomongin tetangga sebelah, rumpi dong.

Bukan, tenang saja. Bukan kecanduan obat-obatan terlarang. Otak saya masih terlalu ekonomis buat berurusan dengan itu. Saya sedang berjuang mengatasi kecanduan medsos. Yup, medsos alias media sosial. Makanya belakangan ini jarang update. Dilema soalnya.

Sebenarnya, dosis saya menggunakan media sosial masih tergolong normal. Yakin masih banyak yang lebih parah dari saya. Cuma, setiap kali sadar tengah tersedot dalam blackhole timeline facebook yang magis sampai lupa waktu, saya tenggelam dalam rasa benci pada diri sendiri. ‘Buang-buang waktu! Kerja sana, kamu pikir kamu anaknya sultan?!’ Dan saya paling benci kalau sudah mulai membenci diri sendiri. Repot kan.

Banyak cara sudah saya coba untuk mengatasi kecanduan ini. Misalnya, bikin aturan hanya boleh menggunakan medsos pada akhir pekan saja atau di atas jam enam sore. Tapi tak berlangsung lama, paling cuma dua mingguan lalu kumat lagi. Persis seperti pecandu ga tahan sakau. Akhirnya seminggu yang lalu saya menghapus aplikasi facebook dan fb messenger dari hp. Harapannya, tanpa aplikasi saya bakal malas facebookan. 

Eh, facebook hilang instagram masih ada. Apalagi sekarang timeline ig semarak, berkat banyaknya akun yang saya follow. Dulu saya ga follow siapa-siapa. Tujuannya ya itu, biar kasusnya ga kayak fb. Tapi kok kayak orang sombong. Sekarang, ga bisa buka-buka fb saya buka-buka ig. Sama aja boong. 

Saya ingin lepas dari kecanduan medsos bukan cuma karena kebiasaan itu tidak produktif, tapi terutama karena medsos membuat saya gelisah. Sehabis merepost link blog di facebook atau foto di instagram, saya pasti bolak-balik ngecek: apa ada yang respon? Jika responnya tak banyak, saya mulai khawatir. ‘Mungkin tulisan saya tak menarik’ atau ‘apa yang salah dengan foto ini?’ Kadang pula, walau responnya baik saya tetap resah, ‘foto ini tonenya tidak senada dengan foto yang lain.’ Tak aneh jika tak lama setelah di posting, postingan saya sudah hilang dari beranda. Saya hapus. Begitu berulang kali, persis penderita OCD. Saya tau ini ga sehat.

Makanya, idola saya adalah teman-teman di ig yang followernya di bawah seribu, tergolong jarang upload, tapi sekalinya upload mereka ga pakai hashtag sama sekali. Mereka seolah bilang, ‘gue ga butuh like dari elu!’ Saya ingin seperti mereka. Kayaknya merdeka banget.

Juga iri sama orang yang bisa upload sembarang. Foto sambal terasi, upload. Foto muka anaknya yang lagi sembelit, upload. Ga pengen seekstrem itu sih, tapi sumpah pengen banget bebas menunjukkan hasil karya tanpa harus digerogoti rasa cemas akan reaksi orang lain. Ingin bisa mempersetankan jumlah like, komentar atau follower sesetan-setannya.

Sampai saat menulis ini, saya belum benar-benar ‘sembuh’. Masih belajar untuk tidak online lama, cuma beberapa menit dikali sekian kali dalam sehari. Juga berusaha tak ambil pusing setelah upload. Tak selalu berhasil tentunya. But i am trying my best here.

Mungkin menurut kamu masalah ini sama sekali ga penting. Saya tinggal begini-begitu, harusnya begini-begitu. Beres dah. Memang semua masalah terasa sepele kalau orang lain yang ngalamin. Buat saya masalah ini bikin stress, sampai saya ga konsen sama perjalanan saya.

‘Taplak, jalan-jalan aja perlu konsen, lu kira ulangan?’

 Serius nih, saya ketinggalan jauh. Di hari ke enam belas di Pacitan, saya sudah mendatangi belasan tempat wisata alam. Tapi tak satupun dari tempat itu muncul di blog. Di galeri instagram, juga baru kemarin saya mulai mengupload foto hasil hunting di Pacitan. Ribuan foto baru yang ada di memori saya anggurin, malah ngupload foto zaman batu, pertanda gagal fokus.

Jadi maklumin aja kalau di post kali ini saya bakal masukin cerita tentang pantai. Bukan hanya satu, tapi tujuh pantai. Kebetulan pantai ini emang tetanggaan. Kalau ga dicampur sama cerita tentang kecanduan di atas, mungkin judul dari postingan kali ini adalah Sapu Bersih Tujuh Pantai JLS Pacitan atau Sekali Gas Tujuh Pantai TerlampauiApa kamu bilang? judulnya norak? Saya juga mikir gitu, lol. Udah, ayo mulai cerita soal pantainya. Ntar ga selesai-selesai. 

Nah, tujuan awal trip saya kali ini adalah Pantai Soge, pantai paling beken di Jalur Lintas Selatan Pacitan. Tapi sebelum saya sampai ke Soge, saya sempat melihat plang nama pantai lain. Pantai Warangan yang pertama, namun saya abaikan karena feeling saya akses jalannya kurang baik.

Kemudian plang Pantai Pindakan, plang pantai ini tergolong heboh, gede. Saya coba masuk, karena asumsi saya pantai yang berani dipromoin harusnya jalannya juga bagus. Ternyata enggak. Untung jarak dari jalan masuk sampai ke pantai tergolong dekat. Tiket masuknya juga murah, empat ribu rupiah per-orang. Pantainya berkarakter, jika biasanya hanya hamparan pasir yang berada di bibir pantai, di Pindakan ada batu-batu berukuran sedang. Saya suka mendengar gemerisik yang ditimbulkan bebatuan itu saat dibelai ombak. Merdu!

Foto Pantai Pindakan lainnya KLIK DI SINI

Puas di Pindakan, saya memutuskan menunda mampir ke Soge untuk mulai dari pantai yang berada di ujung dulu: Pantai Taman. Pantai ini terkenal dengan pelepasan penyu dan flying foxnya. Termasuk pantai yang tak kalah ramainya dengan Pantai Soge, maklum kedua pantai ini memang yang paling bagus akses jalannya. Ada ayunan yang dibuat mirip dengan ikon sebuah pantai di Lombok, tapi saya lebih memilih selfie dengan bendera merah pembatas daerah aman. Tanda bahwa pantai ini ombaknya gede, ga cocok buat main air.

Foto Pantai Taman lainnya KLIK DI SINI

Pantai yang berikutnya adalah Pantai Tawang, pantainya para nelayan. Perahu-perahu nelayan berderet rapi di pesisirnya sampai ke laut sejauh mata memandang. Saya ga lama di sini, kemudian terus ke Pantai Swili. Tapi saya ga nyampe ke bibir pantainya, cuma sampai di area mangrove. Soalnya untuk sampai ke area yang menghadap laut lepas, harus berbasah-basahan melewati tepian area mangrove itu, sementara air sudah berangsur pasang dan gerimis mulai turun.

Foto Pantai Tawang lainnya KLIK DI SINI

Foto Pantai Swili lainnya KLIK DI SINI

Dari Swili saya sampai ke pantai yang jadi tujuan utama : Pantai Soge. Pantai ini dari jalan raya saja sudah kelihatan. Makanya banyak orang yang ga masuk ke pantai tapi berhenti di tepian jalan raya, sampai gelar tikar segala. Ga tau kenapa, sensasinya beda paling. Padahal tiket masuk ke Pantai Soge sangat murah, cuma dua ribu lima ratus per-orang. Banyak yang jualan di sini, tapi tak sampai mengganggu kenyamanan pengunjung.

Foto Pantai Soge lainnya KLIK DI SINI

Pantai Dangkal adalah pantai yang bikin saya deg-degan. Saya hampir ga bisa pulang. Jalan ke pantai ini penipuan banget. Seratus meter pertama adalah aspal kasar, seratus meter berikutnya plesteran semen, berikutnya lagi jalan yang ga jelas wujudnya. Kombinasi dari batu berukuran cukup besar dan lobang-lobang, mana lebar jalannya hanya semeter lebih. Meski sempat slip di sana-sini, saya sampai juga ke pantai alami yang sepi ini. 

Tapi pulangnya kacau. Jalan rusak yang tadinya menurun, sekarang menanjak tajam. Di gas pelan-pelan motor saya slip karena bongkahan batu, gas kencang saya ga berani. Saya terjebak di tengah tanjakan, ga bisa naik juga ga bisa turun. Sampe keringat dingin. Akhirnya saya bebas dari tanjakan setan berkat bantuan seorang warga desa. Malunya, pas lagi dibantuin ada anak kecil naik motor yang mau lewat, gonceng pria dewasa pula. Duh, masa kalah sama anak-anak. 

Foto Pantai Dangkal lainnya KLIK DI SINI

Sampai di jalan raya, saya dilema mau mampir ke Pantai Warangan atau tidak. Gimana kalau aksesnya sama seperti Pantai Dangkal tadi. Tapi ga mampir penasaran. Daripada ga bisa tidur mikirin Warangan, saya memutuskan menyerah pada rasa penasaran. Jalan pantai ini panjang, sempit, berliku, dan menurun. Khasnya jalan pantai. Syukur jalannnya aspal kasar. Pantai Warangan ternyata adalah pantai nelayan. Diantara tujuh pantai yang saya datangi kali ini, ombak pantai ini yang paling bersahabat. 

Saya sebenarnya malas datang ke pantai siang-siang buta. Panas dan warna langitnya jelek, makanya kebanyakan foto hasil hunting kali ini saya edit BW. Tapi apa daya, saya ga bisa keluar terlalu pagi, juga ga bisa menunggu sunset. Maklum saya jalan sendirian. Selain mempertimbangkan faktor keamanan, mata minus dan silinder saya juga kurang ideal diajak berkendara saat cahaya minim. Tapi ga boleh ngeluh kan? Orang bisa jalan-jalan hampir tiap hari aja udah sesuatu banget. Ya, nggak?

Foto Pantai Warangan lainnya KLIK DI SINI

Terpopuler Minggu Ini