Solo Bikepacking JLS Jawa : Tersesat Horor di Selomangleng
Trust your gut. Your gut feeling is usually accurate and correct. If you feel there is something, chances are there is.
Plang arah menuju Goa Selomangleng menarik perhatian saya saat dalam perjalanan pulang dari pantai. Beberapa hari kemudian saya menjadikan goa ini sebagai destinasi. Berangkat pagi, saya sampai batas kendaraan bermotor tanpa kesulitan, lalu menitipkan motor di rumah penduduk dan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Sumpah, sekitar dua puluhan meter pertama jalan masuknya sukses membuat saya merasakan emosi yang cukup jarang terasa : takut. Mungkin karena ada beberapa rumpun bambu besar yang membuat kondisi sekitar jadi remang, atau karena tak ada orang lain di jalan itu, atau mungkin pula gara-gara bulu kuduk yang tiba-tiba berdiri ketika mendengar 'suara angin' yang aneh di telinga. Kalau ini film horor, pasti adegan berikutnya ada penampakan di belakang. Kaki ini rasanya sudah ingin balik kanan. Tapi saya tak mau mundur. No way. Saya lanjut.
![]() |
| Kalau ngerasa suatu tempat nyeremin saya biasanya jalan makin pelan. Why? Biar setannya bilang "ah, ni orang ga asik." |
Lewat dari jalan horor, situasi terasa mendingan meski saya sempat kesulitan ketika jalan tertutup batang pohon tumbang. Tapi tanpa petunjuk arah saya kebingungan mau kemana saat ada jalan bercabang yang harus dipilih. Daripada kesasar, saya berjalan lurus sampai menemukan perkampungan penduduk. Seorang ibu memberi tau kalau saya harus berbalik arah, belok kanan lalu mengikuti jalan setapak yang menjauhi perkampungan. Melewati jalan menanjak, berbatu dan sepi, saya akhirnya sampai di Goa Selomangleng yang terletak di kaki Gunung Walikukun. Di dekat goa, saya menyapa seorang bapak yang berjalan pulang dengan sekarung rumput di bahunya. Mengintip dari luar, terlihat ada bunga dan dupa di lantai goa. Saya masuk lubang goa untuk mengamati relief Arjunawiwaha dari dekat. Cahaya tak ideal untuk memotret, saya putuskan untuk mengexplore sekitar lebih dulu.
![]() |
| View kota |
![]() |
| Nyusurin sungainya mulai dari sini, sampe bawah |
Saat saya tengah mensetting kamera, bapak pencari rumput tadi mengagetkan saya dengan tiba-tiba muncul dari belakang. Ia membawa arit tapi tanpa karung rumputnya. Kami ngobrol dan ia bertanya apa saya sudah ke air terjun, sudah jawab saya. Ia bertanya lagi apa saya sudah naik ke tebing gunung, di atas ada satu batu bersejarah, saya jawab dengan gelengan kepala. Tak banyak omong ia naik ke atas. Penasaran, saya mengikutinya melewati jalur berbatu yang ditumbuhi rumput berduri. Viewnya bagus, Gunung Budheg terlihat dekat dan memang ada peninggalan sejarah yang setelah saya browsing ternyata bernama Candi Meja.
![]() |
| Jalur naik |
![]() |
| Candi Meja & Gunung Budheg |
Setelah kami turun, sebenarnya saya ingin lanjut motret lagi, tapi tak ada tanda-tanda si bapak akan pergi. Ia bercerita, tentang air terjun dan sungai yang tadinya ramai, namun jadi sepi sejak empat orang meninggal karena tenggelam di tempat itu. Lalu bercerita hal lain lagi tapi saya mulai tak menyimak. Gestur tubuh dan sesuatu di matanya membuat saya merasa tak nyaman. Something feels off. Puncaknya, ketika saya tanya, "apa bapak mau nyari rumput lagi?" Ia bilang tidak, ia sudah selesai. Lalu kenapa ia kembali naik lagi ke sini setelah mengantar sekarung rumput tadi ke rumahnya di perkampungan, masih sambil membawa arit? Ketika menulis ini pun, saya tak berani menuduh beliau berniat jahat. Saya bukan Tuhan yang bisa membaca hati.
Tapi ketika itu, intuisi saya berkata saya harus segera pergi. Intuisilah yang membuat saya berani pergi ke tempat sepi dengan orang-orang yang baru saya kenal beberapa hari, intuisi pulalah yang dulu memperingatkan saya untuk tak dekat dengan seseorang yang belakangan saya ketahui adalah penjahat kelamin. Maka kali ini pun saya mengikuti apa katanya. Saya memberi si bapak sedikit uang tips dan segera pamit pulang, saya bilang sudah ditunggu teman. Jika di jalan horor tadi saya sanggup meredam ketakutan dan berjalan biasa, kali ini -setelah tak lagi dalam jangkauan mata si bapak yang terus memperhatikan saya- saya setengah berlari menuju area parkir. Saya takut, karena saya tahu, manusia bisa jadi lebih menakutkan daripada hantu.
Ps. Tapi kalau ditanya saya kapok apa nggak? Ahahahaha.. NO.












