Solo Bikepacking JLS Jawa : Refleksi Diri, Menjadi Monyet di Keluarga PNS
Datang ke Waduk Wonorejo untuk memotret sunset, sampai di sana malah disambut mendung. Ah, saya tak suka. Langit yang sendu, air tenang tak beriak, dan refleksi yang muncul di permukaan waduk seolah memaksa untuk merenung. Apalagi kalau bukan tentang hidup, sesuatu yang dijalani tiap hari tak kunjung dimengerti.
Saya selalu heran pada manusia, yang dengan otaknya yang luar biasa bisa paham kalau tumbuhan diciptakan berbeda-beda. Mulai dari rupa, guna, hingga media yang dibutuhkan untuk bisa hidup. Apa yang kaktus butuh tak mungkin sama persis dengan talas. Tapi kok sepertinya manusia lupa kalau perbedaan itu juga berlaku buat manusia itu sendiri. Kita beda. Punya watak, kemauan, impian, dan garis hidup yang tak sama. Kenapa coba harus 'dipaksa' menjalani hidup yang serupa?
Mulai dari keluarga inti hingga paman, bibi, sampai sepupu-sepupu saya adalah PNS. Jadi wajar kalau standar 'kerja' dalam keluarga saya adalah berseragam dinas, punya pangkat dan jabatan, lalu memiliki penanda keberhasilan seperti rumah, mobil, dsb. Saya yang tak punya slip gaji, berpenghasilan tak menentu, tak bisa menyebutkan alamat kantor karena memang tak berkantor, dianggap belum 'jadi orang'. Mungkin masih level monyet. Saya tak protes, memang itu ukuran sukses bagi mereka, sama seperti kebanyakan orang.
Tapi saya juga tak bisa memaksa diri untuk bangun pagi, bergabung dengan kemacetan, 'nguli' hingga sore, disambut macet lagi, lalu sampai di rumah dengan badan yang telah terlalu letih untuk melakukan hal lain. Hidup terlalu singkat untuk dihabiskan di meja kerja. Saya lebih memilih melakukan apa saja yang saya bisa untuk menghasilkan uang dari rumah -dari mana saja- supaya berkuasa penuh atas segenggam waktu yang saya punya. Saya ingin bebas, ingin hidup yang tak butuh liburan.
Buat saya, traveling adalah passion. Hidup dengan mendatangi tempat baru, menyapa orang asing, mendengar logat yang lucu di telinga, serta mencicipi makanan khas yang tak familiar di lidah adalah cara hidup yang saya pilih. Sebenarnya itu sama saja seperti ketika adik saya ingin jadi apoteker misalnya. Namun di mata keluarga, cita-cita saya tak lebih dari sekedar 'jalan-jalan', buang-buang waktu dan uang.
Kakak saya bilang, saya pasti akan menyesal tak jadi PNS. Ia berulang kali mengirim kabar lowongan pekerjaan, agaknya supaya tak lagi jadi monyet minimal saya harus berstatus karyawan. Ia juga mendorong untuk segera menikah. Keluarga khawatir saya akan berakhir jadi lutung yang luntang lantung, tanpa masa depan dan pensiun seperti yang mereka punya. Jujur saya sendiri kadang ngeri membayangkan masa depan. Tapi saya lebih ngeri lagi membayangkan hidup yang sekedar 'belum mati'.
Kenapa coba manusia mesti ngantor mulai dari pagi hingga petang? supaya bisa punya uang, supaya bisa hidup nyaman, supaya bisa bahagia, katanya. Kalau ujungnya bahagia yang dicari dalam hidup, aneh kan kalau kita harus mendengar orang lain ketimbang diri sendiri. Memangnya siapa yang lebih tau apa yang bisa membuat diri bahagia? Mungkin benar, saya jauh dari kata mapan. Mungkin benar pula masa depan saya kelabu, seperti langit mendung yang menggantung di atas Waduk Wonorejo. Tapi hidup untuk menimbun harta bukan mimpi saya, menjadi pegawai pun bukan panggilan saya, banyak orang lain yang lebih berdedikasi untuk itu. Sedangkan saya bermimpi, ketika akan mati dan seluruh moment hidup berkelebat di ingatan, saya bisa berkata, "ah, that was so fun. i am grateful..." Demi itu, seumur hidup menjadi monyet pun saya rela.