Solo Bikepacking JLS Jawa : Anakku Mati (Lagi)
Saya harusnya menulis. Mengabarkan kekhawatiran saya akan titik-titik longsor di jalan menuju Sine, nyinyir menyoal deretan cemara tak berjumlah seribu tapi dinamai Cemoro Sewu, atau menertawakan Danau Cinta yang rupanya hanyalah sebuah muara. Tapi hati sedang kelabu, masih getun mengingat anak saya yang mati baru-baru ini. Bukan kehilangan pertama sebenarnya. Tapi ternyata pernah merasa tak lantas menjadi kebal rasa.
Ah, jangan mengira saya menangisi matinya darah dan daging yang bernyawa. Saya sedang menyesali hilangnya potongan cerita hidup yang beku dan abadi: foto. Kamu menyebutnya foto, saya memanggilnya 'anak'. Afterall a photo comes from my love affair with live. Hasil kawin antara mata, hati, dan kamera saya dengan hidup ini. Merekalah cermin jiwa, melihat hasil foto saya sama saja seperti kamu melihat saya. My mini me, anak-anak saya.
Dan sialnya mereka hilang. Bukan cuma satu tapi seribu. Ingin rasanya berteriak "janc******kkkk!" diantara deru ombak Pantai Sanggar. Tapi saya khawatir, misuh di pantai yang ombaknya bisa lebih tinggi dari rumah, jangan-jangan saya ikut hilang. Saya pun tak punya waktu tuk berkabung lama. Ada atau tidaknya foto-foto saya di Alam Kandung, Bukit Cemenung, Air Terjun Kaliso, Kedung Luweng dan House of Loodts itu, cerita Kota Marmer tetap harus ditarik layarnya. Sudah waktunya berkemas pergi. Sambil menitip doa, semoga anak saya yang nantinya lahir di Paradise of Java cantik, banyak dan tak 'mati' (lagi).