Solo Bikepacking JLS Jawa : Karena Kisah Acap Bermula dari Stasiun
Walau perjalanan kali ini dilakukan dengan cara bikepacking, bukan berarti saya menempuh ratusan kilometer setiap harinya, saya bukan anak motor yang lagi touring keles. I am a traveler, a slow one at that. Dua hari pertama di Tulungagung, saya ga kemana-mana. Cuma nyetor muka ke tempat makan sambil ngamatin sekitar. Oh di Tulungagung parkirnya masih seribu, oh kalau orang jual Bakso Malang tulisan di gerobaknya 'Bakwan Malang', oh hobi bapak kostnya bobo di sofa ruang tamu.
Saya baru keluar di hari ketiga. Mulai dari stasiun, lanjut Taman Aloon-aloon Tulungagung, kemudian ke Masjid Agung Al-Munawwar. Filosofi dari urutan tiga tempat itu begini: banyak kisah hidup yang berawal dari pertemuan atau perpisahan di sebuah stasiun, sedangkan datang ke alun-alun identik dengan upaya untuk sejenak melepas stress yang acap terasa dalam klimaks kisah hidup dan pada muaranya segala kisah akan berakhir sesuai dengan kehendak Yang Kuasa. Filosofis kan? padahal emang kebetulan aja rutenya gitu.
Ceritanya sebulan lalu, saya pernah nyoba tes 'tipe traveler seperti apakah kamu?' di internet. Hasilnya jleb banget: katanya saya adalah tipe traveler yang terlalu 'sibuk' dan baru bisa benar-benar 'melihat' tempat yang didatangin dari hasil foto pas udah di rumah. Emang bener. Saya terlalu hyper moto, kadang dari sekali jalan saya bisa bikin tiga postingan blog saking banyaknya foto. Dalam perjalanan JLS Jawa ini saya bertekad berubah, bukan jadi power ranger kuning tapi berusaha jadi pejalan yang bisa benar-benar 'hadir' di setiap tempat yang ia datangi. *Walaupun pastinya ga nolak juga kalau emang bisa jadi power ranger.
Makanya ketimbang ugal-ugalan motret seperti biasa, saya anteng duduk di kursi ruang tunggu Stasiun Tulungagung, yang kata sebuah ulasan Google Maps keras banget. Ya iyalah koplak, namanya juga kursi kayu. Nyicipin jajanan yang dijual PKL alun-alun sambil mbatin: 2017 bakpao di sini masih dua ribu lima ratus, di Jalan Gajahmada Pontianak tahun 2013 aja udah lima ribu trus sekarang berapa coba. Ditutup dengan asharan di 'masjid tiga zaman' yang cocok banget sama sebutannya Tulungagung sebagai Kota Marmer, tiang masjidnya aja dari marmer. Hasil foto saya cuma sedikit, tapi saya senang bisa menikmati setiap moment yang selama ini cuma saya lihat dari balik lensa. Mungkin ini yang dikatakan sebuah quotes: "we travel not to escape life, but for life not to escape us."