30 Hari 30 Cafe : OTW Food Street

Kadang saya nyesel bikin project 30 hari 30 cafe. Teman saya bilang tantangan dari project ini adalah biaya. Emang. Tapi bukan itu yang utama. Menurut saya, soal uang somehow bisa diakalin. Entah mangkas anggaran buat beli chocolatos, entah ngorek celengan ayam, entah jual tanah. *eh tunggu, emang tanahnya siapa yang mau dijual?

Buat saya tantangan terberat dari project ini adalah konsisten keluar rumah malam. Diulangin: konsisten-keluar rumah-malam. Tiga-tiganya bukan saya banget. Konsistensi adalah sesuatu yang mistis dalam hidup saya: antara ada dan tiada, lebih seringnya sih ga ada. Kalau keluar rumah, emang seneng. Tapi di musim yang kemungkinan hujan tiba-tibanya lebih gede dari kemungkinan salah satu teman baik saya married tahun ini, saya lebih suka anteng di rumah. Nungguin mamang sate lewat. Apalagi kalau mesti keluar malam, ugh males. Mata saya ga ideal buat nyetir malam. 

Tapi -setidaknya buat saya- project ini bukannya tanpa manfaat. Motret jenis tempat yang sama hampir setiap hari bikin saya sadar kalau saya masih amat banyak kurangnya dalam memotret. Begitu saya mulai motret, suara di otak saya langsung bilang, "look at this b*tch, photograph the corner again! and why the hell all the pics are blurry? you never learn, raise the iso, you stupid!"

Selain payah dalam memotret, saya juga jadi sadar kalau saya ngawur dalam menulis. Judulnya nulis review tapi dari empat paragraph, reviewnya cuma disempalin ke kalimat terakhir di paragraph terakhir pula: "tempatnya biasa aja, cara pesannya ribet, mahal pula, sana pilih cafe lain aja". 

Terpopuler Minggu Ini