Museum Affandi Jogjakarta

Cuaca kota Jogja yang kurang bersahabat membuat saya memutuskan untuk tak menyewa motor. Walau terbiasa kesasar, malas rasanya kalau harus kesasar sambil hujan-hujanan. Apalagi kunjungan ke Jogja kali ini terbilang singkat. Setelah mengexplore sudut Jogja yang bisa dicapai dengan berjalan kaki di hari pertama, hari kedua akan saya gunakan untuk mengunjungi sebanyak mungkin tempat wisata yang bisa dijangkau dengan Bus Trans Jogja, atau begitulah rencananya.

Kenyataannya, meski sudah keluar dari penginapan jam setengah delapan pagi, saya baru selesai mengexplore Prambanan-Ratu Boko jam dua siang. Lupa mengkalkulasi bahwa menggunakan Bus Trans Jogja berarti tak langsung sampai di tempat tujuan, ada jarak yang harus ditempuh dengan jalan kaki. Lupa pula bahwa Ratu Boko luar biasa luas. Rencana awal buat nyama-nyamain muka dengan penghuni Gembira Loka jelas dicoret, waktunya tak cukup. 

Destinasi yang agaknya memungkinkan adalah Museum Affandi. Perhitungannya, saya tinggal naik Bus Trans Jogja 1A dari halte Prambanan. Lagi-lagi meleset. Oleh pramugara bus, saya disuruh oper ke Bus 3A di halte Bandara waktu saya bilang tujuan saya adalah Museum Affandi. Sudah naik bus 3A, pramugara bilang saya keliru; harusnya naik bus 1A. Duh! Agaknya pramugara Bus 1A tadi tak paham dimana lokasi museum. Saya mesti oper bus (lagi) di halte Condong Catur. Singkatnya, saya baru sampai di Museum jam tiga sore; satu jam sebelum museum tutup. 

Jujur, tidak banyak yang saya ketahui tentang seorang Affandi, kecuali bahwa beliau adalah maestro seni lukis Indonesia. Sanctuary beliau ini masuk ke dalam travel bucket saya semata-mata karena saya menyukai museum. Saya juga tak paham apa-apa soal lukisan, apalagi lukisan aliran expresionisme atau abstrak seperti lukisan karya beliau. Tapi orang awam seperti saya pun tetap akan angkat topi pada sosok Affandi Koesoema.

Dari lukisan-lukisannya yang dipajang di galeri satu, kamu akan melihat bahwa beliau adalah manusia kreatif yang tak mudah menyerah pada keterbatasan. Saat tak mampu membayar model, beliau melukis istrinya dengan tak kalah indah. Bahkan ibunda yang sedang kecewa pun dapat menjadi inspirasi bagi lukisannya. Meski telah menghasilkan lebih dari dua ribu lukisan yang diapresiasi dunia, beliau tetap lebih memilih disebut sebagai tukang gambar ketimbang sebutan pelukis yang lebih elit. Buat saya, lukisan-lukisan beliau seolah mengingatkan; berkaryalah, jangan sekedar berteori.